Resume and Reflection
The End of Me Chapter 4: Otentik Supaya Diterima
The End of Me Chapter 4: Otentik Supaya Diterima
Posisi
menjadi orang yang menang dalam pertarungan atau mungkin dalam perdebatan kecil
rasanya menyenangkan bukan? Selain terlihat hebat, kemenangan semu
ini menjadi motivasi terbesar untuk diulangi lagi dikesempatan berikutnya.
Begitupun ketika manusia menjalani hidup, kadang sebuah kemenangan menggiring
manusia melakukan banyak hal untuk memperolehnya. Tidak jarang segala cara
dilakukan dengan semangat yang totalitas dan usaha maksimal yang dikerahkan
hanya untuk terlihat “hebat”, sempurna dimata orang lain.
Saya gak tau Tuhan bakal tanya apa ke saya mengenai hidup saya. Mungkin pertanyaannya
jadi “Seberapa hebat kamu dalam menunjukkan kehebatan yang kamu miliki” atau malah
Tuhan justru tanya “Seberapa otentik kamu untuk menampilkan apa adanya dirimu
dengan segala keterbatasanmu sehingga kamu mengindahkanKu”.
Bukan
bahasan baru bagi orang Kristen, ketidakotentikan atau kepalsuan rentan sekali
terjadi. Mirisnya bukan untuk orang yang awam dengan Kristus, justru kadang
orang Kristen bertindak sebagai orang Farisi. Kesana kemari melayani Tuhan di
Gereja, namun gaya hidup seperti ini tidak beriringan dengan iman yang
seharusnya. Kita justru asik dengan “Label” pelayan Tuhan dan kurang
memerhatikan hal krusial tentang perjalanan hidup dan kesungguhan menguji iman
dalam Kristus. Kita bergulat dengan otentisitas karena kita takut terhadap
penolakan. Kita ingin dunia melihat kita dari sisi terbaik karena kemungkinan
besar lebih dapat diterima bahkan dikagumi. Itu bukan risiko yang ingin kita
ambil , kita tidak menyukai kelemahan-kelemahan kita dan menganggap tak
seorangpun juga menyukainya (h. 83).
Berbahagialah
orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. (Mat. 5:8). Begitu
perspektif agung Allah yang menginginkan manusia menjadi otentik dikala ada
sekumpulan orang yang tidak menyukainya. Menjadi otentik bukan berarti “kenakalan”
kita tidak perlu dihiraukan. Tentu Allah menginginkan diri kita yang terbaik,
namun dengan mengakui betapa kita terbatas, kita ditolong untuk menemukan jalan
ke arah yang Tuhan mau, Otentik berarti;
1. Murni tanpa campuran;
artinya tidak ada bahan buruk (yg palsu) yang dimasukkan di dalamnya. Campuran
yang dimasukkan sesuatu yang aneh, akan mengakibatkan adonan menjadi gagal.
Bagaimana mungkin jika membuat adonan kue tiba-tiba kita memasukkan semir
sepatu, atau sedang membuat campuran adukan semen tiba-tiba kita campurkan gula
1 ton padahal tidak berguna sama sekali. Campuran yang tidak semestinya ada,
inilah yang terkadang kita miliki. Murni bukan sekedar apa adanya, murni
berarti memiliki porsi pas untuk sebuah keputusan mengikut Tuhan tanpa campuran
yang lain. Tak hanya teori, namun kedalaman iman yang diterapkan dalam hidup
sehari-hari merupakan bagian dari kemurnian.
2. Tulus hati; Ketika Yesus
berbicara mengenai hati yang suci, Ia sedang berbicara tentang hati yang jujur
dan tanpa ruang gelap tersembunyi di dalamnya (h.86). Yesus banyak menguraikan
mengenai Ucapan Bahagia yang ditulisNya, juga menuliskan kebalikan atas sikap
yang tidak diperkenankanNya (Matius 23). “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat
dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik!” Tentu kata “celakalah”
ini berkebalikan dengan kata “berbahagialah”. Banyak hal baik dari Allah yang
diberikan kepada orang yang suci hatinya, murni tanpa campuran, dan tulus hati,
sedangkan hal-hal paling buruk datang bagi mereka yang bermain-main
mencampuradukkan segala sesuatu ke dalam adonan kebenaran.
Apa
yang kita peroleh? Semua orang menerima upah dari Allah atas setiap hal yang
menjadi keputusan kita. Misalnya saja keputusan untuk tidak menjadi otentik. “Topeng”
yang dipakai untuk membuat orang lain kagum nyatanya Allah memberikan upahnya.
Upahnya sudah diterima yaitu pujian dari banyak orang. Dalam sebuah keputusan
pengkhianatan misalnya, si pengkhianat pada akhirnya sudah menerima upahnya,
mendapatkan sesuatu yang pastinya ia inginkan. Apakah kita serendah itu dalam
menerima upah? Saya pikir “upah besar di Sorga” itu bukan sesuatu yang tidak
dapat di raih. Bagaimana kita terus menjadi otentik, yang murni tanpa campuran,
yang tulus hati menyatakan kebenaran dalam pergumulan iman, yang menyadari
keterbatasan juga menjunjung tinggi pembaharuan budi?
Masihkah
kita begitu keranjingan dengan #lihatsaya dengan topeng kepalsuan dan
ketidakotentikan, sementara Allah berkenan bagi orang yang belajar menjadi
otentik?
[YES]
Komentar
Posting Komentar