Anw, jika saya sudah
menulis ini dan mengunggahnya, pastikan ini bukan hanya curhatan saya, tapi
juga berbagi hidup oleh siapapun yang membacanya. Saya mengetahui bahwa yang
saya tulis adalah seputar kehidupan saya sebagai seorang guru, tetapi saya rasa
ini bukan untuk dibaca seorang guru saja. Saya juga belajar tentang hidup lewat
anak-anak dan orang lain yang lebih dewasa. J
Sedikit pengantar, sembilan
bulan lamanya sudah berlalu sejak saya officially
menjadi seorang guru. Sejak 9 bulan lamanya juga saya diberi kesempatan untuk
menjadi homeroom teacher dari kelas
7. Tentu sebagai guru yang masih hangat gelarnya, hal ini adalah hal baru bagi
saya. Saya dipercaya oleh sekolah untuk berada di kelas 7 (SMP) yang notabene
sebagian besar siswa bukan berasal dari siswa SD Lentera. (OMG) Pusing sekali
ternyata.
Yang ada dalam benak
saya di awal semester, saya sangat senang karena (wah..) saya hanya menghadapi
kelas 7 (beruntung tidak di kelas 12). Namun pergolakan tetap ada hari demi
hari. Baru saja first day of school dan
first parents meeting sudah terlihat
sulit. Siapa yang tidak was-was ketika harus berhadapan dengan siswa yang tidak
mengerti rules procedures di Lentera.
Saya gentar saat kali pertama bertemu dengan orang tua siswa untuk membahas
kebijakan yang telah disepakati bersama oleh siswa pada first day of school. Ketika menjelaskan rasanya ingin lari
jauh-jauh sebab merasa siapa saya
yang tidak berpengalaman ini.
(Ada yang unik seputar
homeroom teacher-nya Lentera, teacher stay in a class which is your
students are there, everyday! Checking their agendas dan sign everyday! Listen
for every problem if you want to hear! Lead student morning devotion dan
dismissal, everyday!.)
Tidak ada yang
mengetahui persis bagaimana saya mengalami masa-masa sulit seperti ini. Saya
pikir siswa kelas 7 adalah siswa yang masih lucu untuk diajak bercanda, masih
bisa mendengarkan otoritas, masih gampang dengar-dengaran. Ternyata tidak
sesuai ekspektasi. Saya seorang single
fighter homeroom teacher ditengah teman-teman wali kelas yang punya partner (hiks). Ditambah tahun ini SK
saya mengajar Bahasa Indonesia 24 JP/minggu, koordinator Chapel siswa, dan juga
mengajar ekstrakurikuler dan after school (ya Tuhan, tanpaMu aku yakin tidak
bisa).
Terakhir saya belajar
dari konflik bersama anak-anak pada minggu lalu. Saya hanya cukup kesal dengan
pribadi-pribadi yang tidak mau berubah karakternya. Ada yang banyak sekali
bicara di saat yang tidak tepat, tugas telat, bullying, mengadu, tidak membawa bahan project, belum siap saat guru sudah masuk, kelas berantakan tidak
dibereskan, teriak-teriak, dan paling puncaknya adalah saat dismissal menanyakan hal yang sudah
diberitahukan. Dengan latar belakang ini semua, emosi saya memuncak. Saya
merasa cukup bangga pada saat itu bisa membentak dengan suara yang lantang
hingga suara saya terdengar keluar. Itu benar-benar lelah. Saya tidak merasa
ada yang memerdulikan saya dengan baik dengan kondisi anak-anak di kelas ini.
Tindakan mereka sulit sekali diatur, tidak mau dengar-dengaran. Setiap devosi
mulai dari hari pertama di kelas 7 bahkan sampai saat itu saya bawakan dengan
kepentingan untuk mengedukasi mereka menjadi murid Kristus. Bahkan 9 bulan
berjalan ini tidak menjadi kegiatan yang berguna lagi (saya pikir pada waktu
itu) bagi saya untuk bisa memimpin kelas sebagai wali kelas.
Saya membuat keputusan
disaat saya sedang emosi berat. Saya membiarkan anak-anak tanpa devosi dan
tanpa dismissal selama seminggu pembelajaran berlangsung. Setiap hari, hati
saya tidak tenang, terus menerus bertanya apa
yang salah.
Yang saya dapatkan
selama bergumul, saya diingatkan dengan sikap Yesus yang marah di Bait Suci
pada saat itu. Kemudian saya membandingkan dengan kejadian ini. Mirip, tetapi
saya tidak punya alasan yang benar kala itu. Kemarahan saya justru menjadikan
saya kesal sepanjang hari dan saya menemukan adanya kepuasan diri sendiri
ketika saya marah. Saya merasa saya orang paling benar waktu itu. Saya merasa
memiliki hak untuk marah. Saya merasa saya jagoan. Semuanya nol besar. Saya
kembali kepada Yesus pada saat itu. Saya rasa marah tidak ada larangan selama
tujuannya benar untuk kemuliaan Tuhan. It’s
mean, dapat disimpulkan tindakan saya justru tidak mencerminkan bahwa saya
murid Kristus. Bagaimana mungkin saya bisa menggembalakan anak-anak di kelas
jika saya sendiri tidak melakukan apa yang harusnya dilakukan sebagai murid
Kristus.
Rasanya hati saya
dirobek, masih seputar self center
yang lagi-lagi membawa saya kepada dosa favorit, meski kali ini bentuknya
berbeda. Alih-alih demi nama Kristus saya membentak mereka, saya juga tidak
sadar semua damai sejahtera ikut terenggut dalam diri saya sendiri. Saya mau
belajar untuk tetap mendidik anak-anak dengan kasih dan marah yang bijaksana
(terkadang sulit). Marah bukan untuk kepentingan kepuasan wali kelas atau
pribadi, tetapi bagaimana bisa membawa anak-anak kepada Kristus dengan
sempurna. Saya juga masih ingat mengenai hal penggembalaan. Saya tentu
mengharapkan anak-anak yang saya bombing bisa membaca apa maksud saya mendidik
mereka, tapi saya diingatkan bahwa yang bekerja itu bukan hasil usaha saya,
Tuhan beri Roh Kudus untuk tetap bersama dengan anak-anak saya (pasti) dan
entah kapan mereka akan mengerti kapan dan dengan kejadian yang seperti apa.
Yang jelas saya berusaha untuk menjadi kepanjangan tangan Tuhan dalam mendidik
anak-anak. Saya mengekspektasikan benih akan tumbuh di tanah yang subur, dan
saya harus juga menyadari bahwa kemungkinan benih tumbuh di media yang lain
juga ada. Saya hanya butuh sadar dan mengerjakan bagian dengan tepat dan
seimbang.
Tepat seminggu saya
rekonsiliasi dengan mereka sebelum kami sama-sama memasuki quarter break. Ini ditutup dengan sangat manis dengan unggahan
salah satu anak saya di facebook, she said “We love you, Ibu!”. Kamis, 16 Maret
2017 kami bisa mengakhirinya dengan refleksi pribadi dan berdoa bersama bagi
masing-masing pribadi kami yang berdosa. <3
Komentar
Posting Komentar