Sebenarnya saya lebih tertarik pada jilid 2 mengenai Rahasia Kemenangan dalam Cinta dan Seks
Menuju Pernikahan, namun karena jilid 2, saya pikir saya tidak bisa
melewatkan jilid 1, maka saya baca Takhta
Kristus dalam Keluarga. Justru buku ini yang memberikan saya pemahaman, dan
diingatkan kembali betapa Tuhan menginginkan keluarga bukan hanya sekedar hidup
bersama dalam mencapai suatu tujuan dunia. [Tulisan
ini sangat panjang, perlu waktu jika ingin membacanya. Maka jika punya uang
lebih, dan waktu yang disisihkan, dapat juga langsung mencari buku ini di
gramedia atau toko buku rohani terdekat.]
Mungkin jika kamu (pembaca) bingung dengan judul bukunya, berarti kamu
belum punya pemahaman yang kompleks mengenai arti pernikahan yang dirancangkan
Tuhan bagi hidup manusia. Ini bukan kesombongan, tapi ini membuat kamu
seharusnya belajar kehendak Tuhan bagi kehidupan pernikahan, termasuk saya.
Saya bersyukur karena saya banyak tahu kebenaran yang membuat saya lebih kagum kepada Allah dalam menciptakan manusia. Saya dibuatNya tenggelam dalam kasih yang tak berkesudahan (melt).
Beberapa hal penting, yang menjadi highlight, yaitu:
1. Nilai Agama dan Nilai Kebudayaan sebagai cerminan relasi manusia
Relasi manusia ada 2 macam, secara vertical dengan
Allah dan horizontal dengan manusia. Relasi vertical memainkan pengaruh pada
sistem hidup manusia secara batiniah, maka selain itu adalah lahiriah yang didapatkan
dari relasi horizontal. Yang batiniah akan menemukan agama, yang lahiriah akan
menemukan budaya. Namun sekarang dua nilai tersebut sudah dilupakan, bahkan
manusia sibuk mencari uang dan sibuk dengan kuasa pemerintahan. Akibatnya,
manusia pada saat ini tidak lagi mementingkan agama dan kebudayaan, justru
mementingkan kehidupan ekonomi dan politik.
Bangsa seprimitif atau semodern apapun sebenarnya terikat dengan dua nilai tersebut. Manusia di penjuru dunia memiliki nilai masing-masing mengenai cara makan, cara berpakaian, cara berbicara, maka ini adalah sebuah kekayaan yang harusnya dapat diterima dalam masyarakat. Juga pemahaman mengenai Agama dan Tuhan. Setiap pribadi dan keluarga memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai siapa Tuhannya. Atheis sekalipun seolah-olah memindahkan Tuhan kepada hal/orang yang dianggap sebagai Tuhannya. Maka keluarga adalah penting bagi seseorang memiliki identitas mengenai nilai agama dan budaya. Ini harus dimengerti untuk kita menyadari bahwa Allah menaruh kepercayaan kepada setiap orang tua untuk meneruskan nilai agama dan budaya dalam kehidupan anak-anaknya.
2. Allah Tritunggal dan Keluarga
Ada hubungan antara Allah Tritunggal dengan
keluarga yang dimaksudkan Allah. Jika manusia diciptakan sebagai makhluk
sosial, berelasi dengan Allah, juga berelasi dengan manusia, dan jika manusia
diciptakan menurut peta dan teladan Allah, maka sesungguhnya Allah sudah
melakukan itu terlebih dahulu. Tidak ada teologi yang membawa pemahaman
komunitas secara mendalam, tidak ada agama lain yang mengatakan manusia adalah
peta dan teladan Allah, dan tidak ada diantara manusia yang mengetahui sampai
kedalaman apa maksud Allah atas kehidupan manusia. Namun saat saya mendapati
diri saya sendiri dibuat perlahan mengerti, semakin saya tidak mengetahui
kedalaman kasih Allah atas pemberontakan manusia pertama, juga sampai manusia
pada saat ini.
Allah tentu berada dalam komunitas untuk membentuk kasih, kedekatan, mempererat, dan bersifat mempersatukan. Hal ini bukan hal yang mengawang-awang tanpa ada implikasinya dalam kehidupan manusia. Allah justru merancangkan Hawa bagi Adam karena memang tidak ada yang sepadan dengan Adam untuk ia dapat berkomunitas dan berbagi hidup.
Maka keluarga merupakan gambaran yang nyata dari sebuah komunitas yang intim, yang memiliki kedekatan, kasih yang mempersatukan. Dan ketika manusia mengerti bahwa setiap relasi merupakan cerminan dari peta dan teladan Allah, manusia diajak juga untuk dapat melihat kemuliaan dan prinsip-prinsip dasar dari sebuah pembentukan relasi dalam komunitas, khususnya keluarga. Tidak boleh sembarangan membentuk keluarga jika kita mengetahui peta dan teladan Allah. Keluarga yang dibangun dari pengertian mengikuti teladan Allah akan menjadi keluarga yang beres meskipun banyak tantangan dan kekurangan menurut dunia.
3. Mengapa menikah?
Hehe..
Ini juga yang membuat manusia terkadang tidak mengerti esensi dari pernikahan itu sendiri. Hanya dipikir bahwa sudah cukup umur untuk menikah lalu dengan sembarangan menerima pria saat itu juga. Hanya dipikir bahwa kemana lagi harta saya yang banyak ini, maka memutuskan menikah dengan sembarangan yang penting punya keturunan untuk penerus kekuasaan atau kekayaan. Hanya dipikir bahwa tujuan akhir hidup manusia adalah menikah, lalu tidak dengan hikmat memilih orang yang salah, berulang kali salah sehingga berulang kali menikah, dan tidak mendapatkan apa-apa diujung hidupnya.
Dalam membaca buku ini saya juga kembali diingatkan tentang tujuan hidup saya. Sebagai wanita (pada umumnya) ingin sekali memiliki keluarga. Hanya terkadang saya justru dibutakan bahwa hidup ini bukan untuk menikah, namun bagaimana saya menyatakan diri sebagai teladan Kristus. Sering saya fokus dengan masa depan pernikahan saya tanpa saya fokus bagaimana seharusnya orang Kristen harus memiliki hikmat memutuskan dengan siapa dan bagaimana keluarga dibawa ke dalam cerminan teladan Kristus.
Bagi anda yang tidak mengerti ajaran Kristus, mungkin anda bingung dengan segala hal yang kompleks. Ya, kami memandang pernikahan bukanlah hal yang remeh temeh. Monogami juga merupakan gambaran bagaimana Kristus merelasikan kasihnya kepada jemaat.
Mengapa menikah? Karena Adam (yang merupakan teladan Allah) memerlukan Hawa (juga merupakan teladan Allah). Karena keduanya adalah peta dan teladan Allah, maka keduanya diciptakan bukan untuk saling merendahkan atau menyombongkan dirinya. Manusia akan mengerti jika mereka saling mengerti dan memiliki kasih yang rela berkorban. Lalu jika tidak rela berkorban? Jangan menikah. Rasul Paulus pun tidak menikah karena ada yang lebih diprioritaskan sebagai penginjil. Lalu jika tidak memiliki kepentingan apa-apa, lantas tidak mau menikah, apakah ini menjadi keputusan yang bijak? Jawabannya tentu tidak. Sejak awal Allah telah merancangkan bahwa manusia akan beranak cucu memenuhi bumi, ini mandat. Maka jika manusia yang menganggur, yang tidak memiliki pekerjaan tetap, lantas tidak mau untuk menikah karena dianggap tidak mau berusaha mencukupi kebutuhan keluarga, ini bukan pilihan yang bijak. Sifat seperti itu justru menjerumuskan manusia kepada keegoisan. Harus kembali lagi kepada esensi manusia sebagai makhluk yang berelasi mengikuti Allah Tritunggal.
4.
Ordo pria dan wanita
Prinsip dari peran dan tugas pasangan hanya ada
2, yaitu (1) laki-laki mencintai istrinya dan (2) wanita menaati suaminya.
Hawa tidak dibuat dari tulang paha atau tulang kaki sehingga tidak dicipta untuk direndahkan. Hawa juga tidak dibuat dari tulang kepala sehingga ia dapat menjadi penguasa bagi suaminya. Keduanya harus hidup seimbang, ordo ini tidak boleh ditukar. Bayangkan jika suami dengan lemah lembut menuruti apa yang istrinya katakan. Akan sangat aneh jadinya. Kita harus paham kedua prinsip tersebut.
5.
Lalu cinta antara suami dan isteri itu apa?
Dalam sebuah cinta, diperlukan pengertian
mengenai ordo. Alkitab mengajarkan ordo, manusia memiliki kedudukan diatas
hewan dan tumbuhan, Allah memiliki kedudukan di atas manusia dan ciptaannya,
sehingga tidak boleh sembarangan mengacak-acak ordo yang ditetapkan Allah.
Bagi Konfusius, kunci harmoni dalam masyarakat adalah pengertian dan kesetiaan. Raja harus mengerti keadaan rakyatnya, sedangkan rakyat harus setia pada raja. Bapak harus mengerti anaknya, sedangkan anak setia. Suami mengerti isteri, maka isteri harus setia kepada suami. Namun apa yang dikatakan Alkitab mengenai keharmonisan?
Keharmonisan dalam kekristenan dibangun dari cinta dan kesetiaan. Cinta bukan hanya sesuatu yang dimengerti tetapi sebuah tindakan aktif, dan taat bukan hanya setia, melainkan juga sebuah tidakan aktif. Kesetiaan di dalam akan menimbulkan ketaatan di luar, cinta di dalam akan menimbulkan pengertian di luar. Banyak orang mengaku setia namun tidak taat, banyak orang mengaku cinta tetapi tidak pernah pengertian.
Cinta dan kesetiaan juga harus seimbang dengan disiplin. Bagaimana caranya pasangan suami isteri dapat mengatur hidupnya dengan hikmat, memilih setiap keputusan demi keputusan yang berat, dan harus dijalankan dengan komitmen. Jika banyak cinta tanpa disiplin akan tidak baik. Seorang anak yang manja memiliki mental yang lemah. Disiplin yang banyak juga tidak baik, akan menimbulkan ketidakpercayaan satu dengan yang lain.
Namun prinsip ini tidak disetujui oleh dunia. Dunia mengajarkan bahwa ordo dibuat untuk membentuk dan memaksa melakukan kehendak, padahal ordo adanya pemimpin adalah untuk memberikan teladan untuk memengaruhi yang dipimpin. Seorang suami versi dunia terlalu otoriter, kerjanya selalu menekan isteri dan anak supaya tunduk pada perintahnya. Namun, seorang suami yang penuh cinta kasih tetapi berwibawa, tidak sembarangan melanggar peraturan, sisiplin tetapi penuh cinta, pria ini mirip Tuhan. Maka semua cinta kasih diantara keluarga harus tercermin dari bagaimana Allah yang begitu mengasihi Israel, tercermin dari perumpamaan Hosea yang memperjuangkan Gomer, dan Kristus mencintai jemaat. Memiliki cinta dan kesetiaan yang dilandaskan disiplin dalam penerapannya. Maka, menikah dan memiliki keluarga tidak boleh sembarangan memilih orang, harus memilih mana yang memenuhi keriteria macam itu, sehingga rumahmu dipenuhi sukacita yang berasal dari Allah sendiri, dan bukan merupakan cinta seks maupun cinta uang.
6.
Pasangan dan Pengorbanan
Pemaksaan adalah hal yang tidak benar dimata
Allah. Jangan sekali-kali membangun sebuah relasi karena paksaan atau merasa
dipaksa (kasihan). Maka jika terus mengikuti paksaan ini, jangan heran jika
pada akhirnya keluarga akan hancur karena cinta yang tidak tepat. Mungkin
manusia ada yang dengan rela menerima pasangannya begitu saja karena ia sendiri
minder dengan dirinya. Ekstrimnya juga ada yang mencari kesempurnaan dan
menganggap ada orang yang sempurna seperti yang dibayangkan.
Manusia bukan malaikat. Tidak ada manusia yang sempurna. Bukan berarti dengan tidak bertanggung jawab kemudian kita memilih dengan sembarangan siapa saja. Allah mengajak kita untuk selektif, yang berdasarkan cinta dan kesetiaan. Bagi Allah cukuplah cinta dan kesetiaan. Maka ketika kita mencari diluar itu, jangan salahkan keluarga menjadi tidak beres.
Jangan menuntut terlalu banyak, kita menikah dengan manusia berdosa sehingga tidak menuntut dia terlalu tinggi dan sebaliknya. Suami isteri harus belajar mengasihi dan memberikan pengorbanan untuk sama-sama belajar dan menjadi satu. Ada diantara kita yang mencari mendekati sempurna, namun tidak berdoa untuk itu. Maka harus hati-hati.
Allah sudah merancangkan Adam untuk berkorban bagi Hawa. Apa yang dilakukan Allah? (1) membuat Adam tidur (tidak sadar) dan (2) berkorban mengalirkan darah untuk diambil tulangnya. Jadi Allah merancangkan pria yang mendapatkan wanita untuk memberikan pengorbanan, pengorbanan tanpa sadar ia berkorban. Ketika pria yang ingin mendapatkan wanita sudah bersungut-sungut di awal tapi tetap melakukan, ini bukan pengorbanan yang Allah maksud bagi Adam. Pengorbanan membutuhkan kerja keras dibanding hal-hal biasa, ini juga dapat dimengerti orang dalam keadaan sedang tidak jatuh cinta, namun tetap dilakukan dengan paksaan karena cinta dan kesetiaan yang disertai dengan kerelaan. Menderita tanpa merasa menderita merupakan hal yang luar biasa Allah berikan kepada Adam dan setiap pria, ini merupakan suatu kemahiran yang dilatih oleh Allah sendiri.
7.
Pernikahan sebagai simbol Kristus dan Gereja
Ada tiga aspek anugrah umum yang dapat
menghambat dan menghalangi terjadinya perceraian, yaitu (1) tekanan agama (2)
tekanan sosial (3) tekanan keluarga. Pada umumnya jika seorang pasangan sudah
bisa melewati tiga tekanan tersebut, lalu merasa sudah frustasi akan
kehidupannya dengan pasangan, ia dengan sangat berani akan memutuskan untuk
bercerai. Apakah kekristenan juga memahami tiga tekanan tersebut?
Pernikahan adalah simbol Kristus dan gereja (Ef.5:32). Kristus menyerahkan diri, dibunuh, disalibkan, dan mengalirkan darah, barulah dilahirkan gereja yang ditebus oleh darahNya. Adam ditidurkan, dioperasi, mengalirkan darah, harus berkorban, barulah dari tulang rusuk Adam, Allah menciptakan Hawa. Jadi, ini bercerita mengenai suami mencintai isteri seperti Kristus mencintai Gereja, rela berkorban dan rela mati. Cinta adalah menyerahkan diri demi menggenapi yang lain. Maka, masih adakah pernikahan yang harus diakhiri dengan perceraian jika simbol ini benar-benar dipersiapkan dengan baik dan berlutut meminta pekerjaan Tuhan dalam menentukan pasangan hidupmu?
8.
Mazmur 128:1-6
Merupakan mazmur yang diperuntukan
mengungkapkan bagaimana kehidupan keluarga yang bahagia.
Pada saat saya membaca dan menyusun review buku ini, saya seperti dibawa Tuhan kepada pemahaman yang baru mengenai ordo dan cinta sejati. Meskipun hal-hal diatas sebelumnya sudah pernah saya dengar berulang kali, namun saya mulai menyadari bahwa ordo Allah harus dihargai. Terkadang saya sangat suka menyepelekan pacar (calon suami mungkin) yang seumuran. Tampa hikmat saya keras kepala dengan semua ide yang saya berikan kepadanya. Namun, mulai satu-satu Tuhan bukakan, saya harus banyak belajar. Menjadi seorang Kristen yang berhikmat itu sulit luar biasa, tapi dengan setia Tuhan tetap memberikan pemahaman seiring juga dengan pencarian pasangan hidup yang diperuntukkan bagi saya.
Sekian
God bless
Saya bersyukur karena saya banyak tahu kebenaran yang membuat saya lebih kagum kepada Allah dalam menciptakan manusia. Saya dibuatNya tenggelam dalam kasih yang tak berkesudahan (melt).
Beberapa hal penting, yang menjadi highlight, yaitu:
1. Nilai Agama dan Nilai Kebudayaan sebagai cerminan relasi manusia
Bangsa seprimitif atau semodern apapun sebenarnya terikat dengan dua nilai tersebut. Manusia di penjuru dunia memiliki nilai masing-masing mengenai cara makan, cara berpakaian, cara berbicara, maka ini adalah sebuah kekayaan yang harusnya dapat diterima dalam masyarakat. Juga pemahaman mengenai Agama dan Tuhan. Setiap pribadi dan keluarga memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai siapa Tuhannya. Atheis sekalipun seolah-olah memindahkan Tuhan kepada hal/orang yang dianggap sebagai Tuhannya. Maka keluarga adalah penting bagi seseorang memiliki identitas mengenai nilai agama dan budaya. Ini harus dimengerti untuk kita menyadari bahwa Allah menaruh kepercayaan kepada setiap orang tua untuk meneruskan nilai agama dan budaya dalam kehidupan anak-anaknya.
2. Allah Tritunggal dan Keluarga
Allah tentu berada dalam komunitas untuk membentuk kasih, kedekatan, mempererat, dan bersifat mempersatukan. Hal ini bukan hal yang mengawang-awang tanpa ada implikasinya dalam kehidupan manusia. Allah justru merancangkan Hawa bagi Adam karena memang tidak ada yang sepadan dengan Adam untuk ia dapat berkomunitas dan berbagi hidup.
Maka keluarga merupakan gambaran yang nyata dari sebuah komunitas yang intim, yang memiliki kedekatan, kasih yang mempersatukan. Dan ketika manusia mengerti bahwa setiap relasi merupakan cerminan dari peta dan teladan Allah, manusia diajak juga untuk dapat melihat kemuliaan dan prinsip-prinsip dasar dari sebuah pembentukan relasi dalam komunitas, khususnya keluarga. Tidak boleh sembarangan membentuk keluarga jika kita mengetahui peta dan teladan Allah. Keluarga yang dibangun dari pengertian mengikuti teladan Allah akan menjadi keluarga yang beres meskipun banyak tantangan dan kekurangan menurut dunia.
3. Mengapa menikah?
Ini juga yang membuat manusia terkadang tidak mengerti esensi dari pernikahan itu sendiri. Hanya dipikir bahwa sudah cukup umur untuk menikah lalu dengan sembarangan menerima pria saat itu juga. Hanya dipikir bahwa kemana lagi harta saya yang banyak ini, maka memutuskan menikah dengan sembarangan yang penting punya keturunan untuk penerus kekuasaan atau kekayaan. Hanya dipikir bahwa tujuan akhir hidup manusia adalah menikah, lalu tidak dengan hikmat memilih orang yang salah, berulang kali salah sehingga berulang kali menikah, dan tidak mendapatkan apa-apa diujung hidupnya.
Dalam membaca buku ini saya juga kembali diingatkan tentang tujuan hidup saya. Sebagai wanita (pada umumnya) ingin sekali memiliki keluarga. Hanya terkadang saya justru dibutakan bahwa hidup ini bukan untuk menikah, namun bagaimana saya menyatakan diri sebagai teladan Kristus. Sering saya fokus dengan masa depan pernikahan saya tanpa saya fokus bagaimana seharusnya orang Kristen harus memiliki hikmat memutuskan dengan siapa dan bagaimana keluarga dibawa ke dalam cerminan teladan Kristus.
Bagi anda yang tidak mengerti ajaran Kristus, mungkin anda bingung dengan segala hal yang kompleks. Ya, kami memandang pernikahan bukanlah hal yang remeh temeh. Monogami juga merupakan gambaran bagaimana Kristus merelasikan kasihnya kepada jemaat.
Mengapa menikah? Karena Adam (yang merupakan teladan Allah) memerlukan Hawa (juga merupakan teladan Allah). Karena keduanya adalah peta dan teladan Allah, maka keduanya diciptakan bukan untuk saling merendahkan atau menyombongkan dirinya. Manusia akan mengerti jika mereka saling mengerti dan memiliki kasih yang rela berkorban. Lalu jika tidak rela berkorban? Jangan menikah. Rasul Paulus pun tidak menikah karena ada yang lebih diprioritaskan sebagai penginjil. Lalu jika tidak memiliki kepentingan apa-apa, lantas tidak mau menikah, apakah ini menjadi keputusan yang bijak? Jawabannya tentu tidak. Sejak awal Allah telah merancangkan bahwa manusia akan beranak cucu memenuhi bumi, ini mandat. Maka jika manusia yang menganggur, yang tidak memiliki pekerjaan tetap, lantas tidak mau untuk menikah karena dianggap tidak mau berusaha mencukupi kebutuhan keluarga, ini bukan pilihan yang bijak. Sifat seperti itu justru menjerumuskan manusia kepada keegoisan. Harus kembali lagi kepada esensi manusia sebagai makhluk yang berelasi mengikuti Allah Tritunggal.
Hawa tidak dibuat dari tulang paha atau tulang kaki sehingga tidak dicipta untuk direndahkan. Hawa juga tidak dibuat dari tulang kepala sehingga ia dapat menjadi penguasa bagi suaminya. Keduanya harus hidup seimbang, ordo ini tidak boleh ditukar. Bayangkan jika suami dengan lemah lembut menuruti apa yang istrinya katakan. Akan sangat aneh jadinya. Kita harus paham kedua prinsip tersebut.
Bagi Konfusius, kunci harmoni dalam masyarakat adalah pengertian dan kesetiaan. Raja harus mengerti keadaan rakyatnya, sedangkan rakyat harus setia pada raja. Bapak harus mengerti anaknya, sedangkan anak setia. Suami mengerti isteri, maka isteri harus setia kepada suami. Namun apa yang dikatakan Alkitab mengenai keharmonisan?
Keharmonisan dalam kekristenan dibangun dari cinta dan kesetiaan. Cinta bukan hanya sesuatu yang dimengerti tetapi sebuah tindakan aktif, dan taat bukan hanya setia, melainkan juga sebuah tidakan aktif. Kesetiaan di dalam akan menimbulkan ketaatan di luar, cinta di dalam akan menimbulkan pengertian di luar. Banyak orang mengaku setia namun tidak taat, banyak orang mengaku cinta tetapi tidak pernah pengertian.
Cinta dan kesetiaan juga harus seimbang dengan disiplin. Bagaimana caranya pasangan suami isteri dapat mengatur hidupnya dengan hikmat, memilih setiap keputusan demi keputusan yang berat, dan harus dijalankan dengan komitmen. Jika banyak cinta tanpa disiplin akan tidak baik. Seorang anak yang manja memiliki mental yang lemah. Disiplin yang banyak juga tidak baik, akan menimbulkan ketidakpercayaan satu dengan yang lain.
Namun prinsip ini tidak disetujui oleh dunia. Dunia mengajarkan bahwa ordo dibuat untuk membentuk dan memaksa melakukan kehendak, padahal ordo adanya pemimpin adalah untuk memberikan teladan untuk memengaruhi yang dipimpin. Seorang suami versi dunia terlalu otoriter, kerjanya selalu menekan isteri dan anak supaya tunduk pada perintahnya. Namun, seorang suami yang penuh cinta kasih tetapi berwibawa, tidak sembarangan melanggar peraturan, sisiplin tetapi penuh cinta, pria ini mirip Tuhan. Maka semua cinta kasih diantara keluarga harus tercermin dari bagaimana Allah yang begitu mengasihi Israel, tercermin dari perumpamaan Hosea yang memperjuangkan Gomer, dan Kristus mencintai jemaat. Memiliki cinta dan kesetiaan yang dilandaskan disiplin dalam penerapannya. Maka, menikah dan memiliki keluarga tidak boleh sembarangan memilih orang, harus memilih mana yang memenuhi keriteria macam itu, sehingga rumahmu dipenuhi sukacita yang berasal dari Allah sendiri, dan bukan merupakan cinta seks maupun cinta uang.
Manusia bukan malaikat. Tidak ada manusia yang sempurna. Bukan berarti dengan tidak bertanggung jawab kemudian kita memilih dengan sembarangan siapa saja. Allah mengajak kita untuk selektif, yang berdasarkan cinta dan kesetiaan. Bagi Allah cukuplah cinta dan kesetiaan. Maka ketika kita mencari diluar itu, jangan salahkan keluarga menjadi tidak beres.
Jangan menuntut terlalu banyak, kita menikah dengan manusia berdosa sehingga tidak menuntut dia terlalu tinggi dan sebaliknya. Suami isteri harus belajar mengasihi dan memberikan pengorbanan untuk sama-sama belajar dan menjadi satu. Ada diantara kita yang mencari mendekati sempurna, namun tidak berdoa untuk itu. Maka harus hati-hati.
Allah sudah merancangkan Adam untuk berkorban bagi Hawa. Apa yang dilakukan Allah? (1) membuat Adam tidur (tidak sadar) dan (2) berkorban mengalirkan darah untuk diambil tulangnya. Jadi Allah merancangkan pria yang mendapatkan wanita untuk memberikan pengorbanan, pengorbanan tanpa sadar ia berkorban. Ketika pria yang ingin mendapatkan wanita sudah bersungut-sungut di awal tapi tetap melakukan, ini bukan pengorbanan yang Allah maksud bagi Adam. Pengorbanan membutuhkan kerja keras dibanding hal-hal biasa, ini juga dapat dimengerti orang dalam keadaan sedang tidak jatuh cinta, namun tetap dilakukan dengan paksaan karena cinta dan kesetiaan yang disertai dengan kerelaan. Menderita tanpa merasa menderita merupakan hal yang luar biasa Allah berikan kepada Adam dan setiap pria, ini merupakan suatu kemahiran yang dilatih oleh Allah sendiri.
Pernikahan adalah simbol Kristus dan gereja (Ef.5:32). Kristus menyerahkan diri, dibunuh, disalibkan, dan mengalirkan darah, barulah dilahirkan gereja yang ditebus oleh darahNya. Adam ditidurkan, dioperasi, mengalirkan darah, harus berkorban, barulah dari tulang rusuk Adam, Allah menciptakan Hawa. Jadi, ini bercerita mengenai suami mencintai isteri seperti Kristus mencintai Gereja, rela berkorban dan rela mati. Cinta adalah menyerahkan diri demi menggenapi yang lain. Maka, masih adakah pernikahan yang harus diakhiri dengan perceraian jika simbol ini benar-benar dipersiapkan dengan baik dan berlutut meminta pekerjaan Tuhan dalam menentukan pasangan hidupmu?
Pada saat saya membaca dan menyusun review buku ini, saya seperti dibawa Tuhan kepada pemahaman yang baru mengenai ordo dan cinta sejati. Meskipun hal-hal diatas sebelumnya sudah pernah saya dengar berulang kali, namun saya mulai menyadari bahwa ordo Allah harus dihargai. Terkadang saya sangat suka menyepelekan pacar (calon suami mungkin) yang seumuran. Tampa hikmat saya keras kepala dengan semua ide yang saya berikan kepadanya. Namun, mulai satu-satu Tuhan bukakan, saya harus banyak belajar. Menjadi seorang Kristen yang berhikmat itu sulit luar biasa, tapi dengan setia Tuhan tetap memberikan pemahaman seiring juga dengan pencarian pasangan hidup yang diperuntukkan bagi saya.
Sekian
God bless
Komentar
Posting Komentar